PT Djarum adalah sebuah perusahaan rokok di Indonesia yang berpusat di Kudus, Jawa Tengah. Djarum merupakan salah satu dari tiga perusahaan rokok terbesar di Indonesia.
Sejarah Djarum berawal saat Oei Wie Gwan membeli usaha kecil dalam bidang kretek bernama Djarum Gramophon pada tahun 1951 dan mengubah namanya menjadi Djarum. Oei mulai memasarkan kretek dengan merek "Djarum" yang ternyata sukses di pasaran. Setelah kebakaran hampir memusnahkan perusahaan pada tahun 1963 tak lama kemudian Oei Wie Gwan pun meninggal. Karena kegigihan kedua putranya Djarum kembali bangkit dan memodernisasikan peralatan di pabriknya. Pada tahun 1972 Djarum mulai mengeskpor produk rokoknya ke luar negeri. Tiga tahun kemudian Djarum memasarkan Djarum Filter, merek pertamanya yang diproduksi menggunakan mesin, diikuti merek Djarum Super yang diperkenalkan pada tahun 1981. Saat ini Djarum dipimpin oleh Budi Hartono dan Bambang Hartono, yang keduanya merupakan putra Oei Wie Gwan.
Produk rokok yang diproduksi PT Djarum adalah :
Djarum Super
Djarum Cokelat
Djarum 76
LA Lights
Djarum Black
Djarum Super Mezzo
(Sumber : www.djarum.co.id)
Cash Cows
Perusahaan telah melewati posisi ini dengan baik dan berhasil mempertahankan stabilitas produknya dari tingkat pemasaran produk dan harga.
Dog
Pada posisi ini perusahaan telah melakukan suatu tindakan dengan memproduksi produk yang baru dan terhindar dari kebangkrutan.
Question Market
Produk yang ditawarkan telah memiliki market share yang sangat tinggi dan permintaan dari konsumen sangat banyak sehingga market growthnya tinggi.
Star
Market share perusahaan telah menjadi dominan dan pertumbuhan terus terjadi serta melakukan promosi di berbagai media. Dan telah melakukan kegiatan selain kegiatan utamanya untuk melebarkan sayap.
Produk PT Djarum tidak hanya dijual di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain dan PT Djarum telah mencatatkan nilai hampir US$ 16.000.000,00. Perusahaan ini memproduksi rokok kretek, cerutu, dan rokok putih.
PT Djarum pun melebarkan sayap dengan masuk ke dalam sektor properti dan perbankan. Di sektor properti melalui anak perusahaannya PT Cipta Karya Bumi Indah, PT Djarum membangun pusat grosir Wholesale Trade Centre Mangga Dua Jakarta. Lalu di sektor perbankan, PT Djarum bergabung dengan konsorsium Farallon dan membeli 52% saham PT Bank Central Asia Tbk. Pada Maret 2002.
Analisis persaingan dengan menggunakan model lima kekuatan persaingan menurut M. Porter PT Waskita Karya :
Substitusi : Dalam membangun suatu bangunan yang terpenting adalah lokasi dan struktur bangunan. Apabila lokasi bermasalah maka perusahaan harus mencari lokasi yang lebih bagus. Dan dalam struktur bangunan perusahaan memiliki bahan-bahan yang berkualitas atau menggunakan bahan pengganti yang kualitasnya tidak jauh berbeda agar struktur bangunan menjadi lebih kokoh.
Pemasok : Perusahaan mendapat bahan-bahan untuk melakukan suatu proyek dari perusahaan yang menjual dan memproduksi bahan-bahan bangunan seperti beton.
Pembeli : Sebagian besar perusahaan menerima kontrak kerja dengan pemerintah untuk membangun bangunan pemerintah dan fasililats negara.
Persaingan antar penjual dalam satu industri : Walaupun PT Waskita Karya adalah badan usaha milik negara, tetapi banyak sekali perusahaan yang bergerak di industri yang sama. Strategi untuk menghadapi persaingan ini adalah dengan meningkatkan kinerja perusahaan dan meningkatkan kualitas bangunan
Pendatang baru potensial : Banyak perusahaan baru yang memiliki kinerja dan kualitas yang lebih baik. Dan cara untuk menghadapinya sama seperti yang tertulis diatas, yaitu meningkatkan kinerja perusahaan dan meningkatkan kualitas bangunan.
Salah satu metoda analisis lingkungan yang sering digunakan adalah Analisis SWOT (Strenght / Kekuatan, Weaknesess / Kelemahan, Opportunity / Peluang, Threats /Ancaman).
Kekuatan adalah variabel atau faktor-faktor internal seperti teknologi yang dimiliki perusahaan, sumberdaya manusia (karyawan dan manajemen), sistem, maupun modal, yang mampu menjadikan perusahaan memiliki keunggulan tertentu. Paling tidak, faktor tersebut menjadi penentu utama untuk mempertahankan atau kalau bisa mengembangkan-kinerja perusahaan. Sedangkan kelemahan adalah faktor yang menyebabkan perusahaan tidak mampu mengerjakan sesuatu yang ternyata dapat dikerjakan dengan baik dan atau lebih murah oleh pesaingnya. Faktor ini dianalisis dapat menyebabkan penurunan kinerja perusahaan.
Sementara itu, yang disebut dengan peluang dan ancaman adalah faktor-faktor yang berasal dari luar perusahaan, misalnya: 1. Ancaman dominan dalam industri 2. Kekuatan dan dorongan persaingan dalam industri 3. Faktor penyebab perubahan 4. Aktivitas pesaing 5. Faktor yang menentukan keberhasilan untuk bersaing dalam industri 6. Daya tarik industri
(sumber : http://wardoyo.staff.gunadarma.ac.id)
Pembahasan
Tujuan : Meraih laba, membangun citra, dan mengembangkan profesionalisme.
Visi : Menjadi badan usaha terkemuka dalam industri konstruksi.
Misi : Meningkatkan nilai perusahaan melalui produk dan jasa konstruksi yang bernutu dan berdaya saing tinggi.
(Sumber : http://portal.bumn.go.id/waskita)
Strenght : PT Waskita Karya merupakan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang konstruksi yang tidak hanya membangun bangunan milik pemerintah tetapi juga membangun bangunan untuk pihak swasta.
Weakness : Karena perusahaan ini milik pemerintah sebagian besar modal yang diterima untuk melaksanakan sebuah proyek berasal dari pemerintah.
Opportunity : PT Waskita Karya selalu mendapatkan kontrak dari pemerintah untuk membangun bangunan pemerintah dan membangun fasilitas-fasilitas negara, tetapi tidak hanya bangunan dan fasilitas negara saja seperti apartemen dan kantor bank swasta.
Threats : Sebagian besar PT Waskita Karya membangun bangunan pemerintah dan fasilitas negara, modal yang diperoleh berasal dari pemerintah, dan proyek akan berjalan apabila ada kontrak kerja dengan pemerintah.
Kekuatan : PT Waskita Karya merupakan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang konstruksi yang tidak hanya membangun bangunan milik pemerintah tetapi juga membangun bangunan untuk pihak swasta.
Kelemahan : Karena perusahaan ini milik pemerintah sebagian besar modal yang diterima untuk melaksanakan sebuah proyek berasal dari pemerintah
1. Visi : Menjadi badan usaha terkemuka dalam industri konstruksi.
Misi : Meningkatkan nilai perusahaan melalui produk dan jasa konstruksi yang bernutu dan berdaya saing tinggi.
Tujuan : Meraih laba, membangun citra, dan mengembangkan profesionalisme.
2. Ya, karena visi ini dapat memotivasi manajemen dan memberikan gambaran yang jelas mengenai masa depan perusahaan untuk menjadi badan usaha terkemuka dalam industri konstruksi.
3. Ya, dengan meningkatkan mutu produk dan jasa konstruksi dan juga berdaya saing tinggi tidak mustahil PT Waskita Karya mampu mencapai visinya.
Kasus Bank Century memberikan pelajaran bahwa bank nakal yang diselamatkan cenderung akan menimbulkan banyak polemik di kemudian hari. Oleh sebsb itu, ke depan, tata kelola bank sebaiknya dijadikan bagian dari kriteria untuk menentukan bank bersifat sistemik atau tidak.
Tata kelola ini juga terkait dengan karakter pemegang saham mayoritas. Bank Indonesia harus berhati-hati kepada pemegang saham mayoritas berkebangsaan asing yang bersifat individu dan menguasai bank tersebut melalui pasar modal.
Seperti diketahui, dua pemegang saham utama Bank Century adalah Alwarraq Hesyam Talaat M dari Arab Saudi dan Rafat Ali Rizvi, warga negara Inggris keturunan Pakistan. Kedua pemegang saham itu melarikan diri.
“Sejatinya kualitas keberhasilan penyelamatan bank sangat bergantung pada kualitas informasi, baik keuangan maupun nonkeuangan seperti manajemen dan tata kelolanya,” kata pengamat perbankan Krisna Wijaya, Rabu (2/9) di Jakarta.
Karena itu, kata Krisna, penentuan suatu bank apakah berdampak sistemik tidak lagi hanya didasarkan pada efek keuangan terhadap bank-bank lain. “Kalau manajemen dan pemiliknya sudah jelas nakal, sangat tepat bank bersangkutan tidak diselamatkan,” katanya.
Seperti diberitakan, Bank Century merupakan bank yang telah diketahui sejak lama memiliki tata kelola buruk, dimanfaatkan oleh pemegang sahamnya untuk keperluan tidak wajar, dan terindikasi menyimpan potensi manipulasi (fraud).
Namun, ketika bank tersebut kolaps, Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyelamatkannya denga alasan sistemik.
Penyelamatan terhadap Bank Century akhirnya menimbulkan masalah karena biayanya membengkak luar biasa hingga mencapai rp 6,76 Triliun. Sebagian besar dana penyelamatan tersebut digunakan untuk menutup kerugian akibat manipulasi yang dilakukan pemegang saham mayoritas dan manajemen.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional Sigit Pramono juga setuju agar bank nakal tidak perlu diselamatkan.
Namun, katanya, dalam situasi krisis memang penganganannya bisa berbeda mengingat situasinya penuh ketidakpastian.
“Sebab, jika Bank Century tidak diselamatkan saat itu, ada kemungkinan akan memicu kerugian yang jauh lebih besar pada perekonomian,” kata Sigit.
Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, pemerintah dan BI hendaknya memberikan penjelasan yang masuk akal tentang penyelesaian Bank Century, terutama tentang besaran Rp 6,76 Triliun hanya untuk menyelamatkan bank dengan skala sekecil Bak Century.
Kebutuhan modal
Berdasarkan dokuman BI, hasil perhitungan rasio kecukupan modal (CAR) posisi 31 Oktober 2008 adalah -3,53%. Untuk mencapai CAR 8% dibutuhkan modal 632 Miliar.
Koreksi perhitungan CAR terjadi karena ada surat-surat berharga (SSB) valas jatuh tempo 30 Oktober 2008 sebesar US$ 1 Juta yang tidak bisa dicairkan macet dan bank harus membentuk pencadangan.
Ada pula SSB valas sebesar US$ 65 Juta yang tidak memiliki rating sehingga juga digolongkan macet.
Selain itu, pendapatan bunga sebesar Rp 398 Miliar tidak diakui sehingga mengurangi pendapatan dan bank juga harus membentuk pencadangan terhadap aktiva yang diambil alih sebesar Rp 59 Miliar.
Selanjutnya, saat bank dunyatakan sebagai bank gagal pada 20 November 2008, BI meminta kepada bank untuk menyusun neraca penutupan atau penyerahan kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk posisi 20 November 2008. Pada 23 November 2008, BI menghitung CAR posisi 20 November 2008 dengan hasil sebesar -35,92% sehingga untuk memenuhi CAR 8% dubutuhkan tambahan modal menjadi sebesar Rp 2,66 Triliun.
Koreksi perhitungan CAR terjadi jaren penggolongan SSB valas bermasalah Rp 2,19 Triliun menjadi macet sehingga bank harus membentuk pencadangan.
Selanjutnya, CAR bank posisi 31 Desember 2008, dihitung pada 27 Januari 2009, berdasarkan atas hasil audit investigasi.
Hasil perhitungan CAR posisi 31 Desember 2008 setelah memperhitungkan penyertaan modal sementara sebesar Rp 4,98 Triliun adalah sebesar -19,21% sehingga kebutuhan tambahan modal secara akumulasi menjadi sebesar Rp 6,13 Triliun.
Adapun akumulasi koreksi perhitungan CAR terutama karen terdapat pembentukan pencadangan atas penanaman dana yang berpotensi menimbulkan kerugian, antara lain pemberian fasilitas surat kredit (L/C) kepada 10 debitor sebesar US$ 178 Juta yang diindikasikan merupakan rekayasa.
Hal lain adalah adanya pemberian kredit yang tidak sehat sehingga bank harus membentuk pencadangan Rp 1,12 Triliun, termasuk kredit yang diduga fiktif.
Terakhir, dengan memperhitungkan penyertaan modal sementara hingga 24 Februari 2009 sebesar Rp 6,13 Triliun, CAR posisi Juni 2009 adalah -6,17% atau terdapat keurangan modal Rp 630 Miliar sehingga secara akumulasi kebutuhan modal menjadi sebesar Rp 6,76 Triliun.
Ada apa dengan Century
Selama 9 Bulan sejak Bank Century diputuskan diselamatkan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada 21 November 2008, prektis tidak banyak yang menggugat langkah tersebut. Selama masa itu, semua orang masih menilai tindakan KSSK tepat demi menyelamatkan perekonomian.
Sikap adem-ayem ini berubah drastis tatkala dana penyelamatan Bank Century yang mencapai Rp 6,76 Triliun dibeberkan kepada publik. Semua orang terperangah karena dana itu begitu besar.
Bermula dari sinilah, berbagai gugatan yang sebelumnya tak pernah ada simultan bermunculan. Mulai dari alasan dan kepentingan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memutuskan penyelamatan, keabsahan payung hukumnya, ketidaktransparan proses penyehatan, kelalaian Bank Indonesia, hingga pembengkakan suntikan dana.
Terlepas dari memang diperlukannya audit investigasi ada tidaknya penyelewengan dalam penyelamatan Century, hiruk-pikuk dan polemik Century sebenarnya tidak perlu terjadi jika negara ini memiliki perangkat hukum yang lebih bak, terkait dengan UU Perbankan, UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), dan UU Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
Dengan demikian, persoalan Century, mulai dari saat berada dalam penanganan BI, saat KSSK memutuskan penyelamatan, hingga proses penyehatan oleh LPS, niscaya tak akan menjadi polemik berkepanjangan.
Saat berada dalam penanganan BI, permasalahan Century sebenarnya bisa saja diselesaikan jika BI lebih tegas dan cepat dalam bertindak. Persoalan Century muncul bukan karena pengawasan BI lemah, melainkan karena kegamangan BI untuk memberikan hukuman.
Saat menangani Century, BI mengetahui semua permasalahan yang membelit bank tersebut dan juga telah meresponnya dengan sejumlah tindakan pengawasan. Pengawasan BI misalnya menemukan permasalahan surat-surat berharga (SSB) valas sebesar US$ 203 Juta yang tidak memiliki peringkat dan berbunga rendah.
BI telah mengambil sejumlah tindakan pengawasan, seperti menginstruksikan pencairan SSB valas dan meminta pemegang saham menambah modal.
Terlepas dari ada tidaknya penyelewengan selama menangani Century, ketidaktegasan BI untuk menghukum, bahkan menutup Century, tidak terlepas dari kurangnya kewenangan BI seperti diatur dalam Pasal 37 UU Perbankan. Kewenangan BI dalam UU tersebut sangat lemah, tidak ada unsur memaksa dan tindakan yang diambil sangat terbatas sehingga membuat pengawas bank gamang.
Terlebih lagi, dalam beberapa kasus perbankan yang masuk pengadilan, BI kerap dikalahkan. Untuk mengatasi persoalan ini, UU Perbankan harus segara direvisi.
Polemik Century perlu diselamatkan atau sebenarnya juga tidak akan muncul jika Indonesia memiliki UU JPSK. Gugatan terhadap penyelamatan Century kembali muncul karena pemerintah hanya menggunakan perppu yang belakangan ditolak DPR.
Dengan keberadaan UU JPSK, penanganan krisis bisa dilakukan secara lebih akuntabel. Tanpa adanya UU JPSK, keputusan yang diambil saat krisis besar kemungkinan akan dipermasalahkan lagi di kemudian hari. Padahal, keputusan yang diambil saat krisis tidak bisa diukur dengan kondisi saat ini yang sudah normal. Saat ini pembahasan RUU JPSK masih berlangsung di DPR.
Pembegkakan suntikan modal oleh LPS ke Century yang menimbulkan tanda tanya banyak orang juga bisa dihindari jika LPS diberi waktu yang lebih panjang mengaudit dan menghitung kebutuhan injeksi modal.
Berdasarkan UU LPS hanya memiliki waktu satu hari untuk menyelamatkan bank (jika diputuskan sistemik) atau menutupnya. Karena itu, LPS tak mungkin mengetahui secara tepat jumlah modal yang dibutuhkan.
Untuk mengatasi persoalan ini, LPS ke depan juga harus diikutsertakan dalam pemeriksaan bank yang masuk dalam tahap pengawasan khusus sehingga LPS bisa melakukan uji tuntas terhadap bang bersangkutan. Ini akan memberikan data yang memadai untuk menghitung kebutuhan modal yang tepat jika bank tersebut akhirnya perlu diselamatkan.
Setelah diambil alih oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan pada 21 November 2008, kinerja PT Bank Century Tbk sampai dengan Maret 2009 membaik sehingga PT Bank Century berhasil keluar dari beberapa batasan pengawasan khusus Bank Indonesia, setelah melunasi pinjaman Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari bank sentral senilai Rp.600 miliar pada Februari 2009.
"Dengan demikian, kini Bank Century diizinkan untuk melakukan rencana ekspansi bisnis dan dikeluarkan dari pembatasan pertumbuhan aset, seperti pemberian kredit dan surat berharga," kata Direktur Utama Bank Century Maryono, dalam Media Briefing yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (29/4).
"Beberapa indikator perbankan juga menujukan hasil produktif juga menunjukkan tidak ada masalah, rentabilitas terus membaik. Kita juga telah melakukan reorganisasi, penajaman risk management, me-review atau menerbitkan produk baru, serta mengembangkan teknologi informasi," tambahnya.
Maryono menerangkan, perbaikan likuiditas Bank Century tercermin dari giro wajib minimum (GWM) rupiah 5 persen, dan GWM valuta asing di atas 1 persen. Angka itu sudah di atas ketentuan Bank Indonesia. Dana pihak ketiga juga terus meningkat sebesar Rp 50 miliar pada bulan Januari 2009, peningkatan pada bulan Februari mencapai Rp 145 miliar, kemudian naik lagi sebesar Rp 201 miliar pada Maret tahun lalu.
Selain itu, lanjut Maryono, solvabilitas Bank Century juga telah memenuhi ketentuan, yakni rasio kecukupan modal (CAR) di atas aturan BI (8 persen) setelah Lembaga Penjamin Simpanan menyetorkan penyertaan modal sementara. Indikator rentabilitas ditunjukan dengan merosotnya kredit bermasalah (NPL) menjadi 10,39 pada Maret 2009 dari 14,8 persen dari Desember 2008.
Volume transaksi bank notes rata-rata mencapai 5 juta dollar AS per bulan, bahkan transaksi ini meraih pendapatan sekitar Rp 4 miliar dalam tiga bulan hingga Maret 2009. Pihak manajemen juga telah membangun sejumlah fasilitas pendukung demi mempercepat penyehatan Bank Century.
Misalnya membangun layanan call center yang dinamakan Century Access, membentuk Tim Penyelamat Aset dan Aset Management Unit untuk menyelamatkan dan menyelamatkan aset yang bermasalah, serta melakukan relaunching tabungan Century dengan PT Asuransi Sinar Mas.
Kesemuanya itu, menurut Maryono, adalah hasil dari fase pertama strategis bisnis dari managemen Century, yakni fase pembenahan masalah (survival) yang berlangsung Desember 2008-Februari 2009. "Sekarang kami tengah menjalani fase kedua, yaitu fase peletakan dasar bisnis yang sehat pada Maret-November 2009. Setelah itu, Januari 2010-Desembar 2011 adalah fase ketiga yaitu fase tumbuh di segmen yang fokus. Manajemen yakin Bank Century akan menjadi bank yang kuat," ujarnya.
Seorang warga negara Belanda menjenguk kampung halamannya di Jawa Timur. Ia lahir di Indonesia, berdarah Ambon. Sebut saja namanya Elias. Ayahnya tentara KNIL, tewas di Borneo saat membela Belanda melawan Jepang. Tahun 1951, kala Elias 13 tahun, ia diboyong keluarganya ke Belanda.
Di Belanda, kehidupannya berubah. Sejak lahir hingga masuk liang kubur dijamin pemerintah. Pengangguran disantuni, yang jumlahnya cukup untuk hidup, asal tak dipakai neko-neko. Misalnya, keluar-masuk kafe atau menggandeng wanita penghibur.
Elias berstatus pensiunan. Tiap bulan ia terima sekitar 1.700 euro, termasuk dana rampasan perang, “Itu akibat kesengsaraan yang kami terima saat perang dengan Jepang. Kami dianggap tidak bisa memperoleh pendidikan dan hidup layak. Itu dana kompensasi,” katanya.
Di dalam komponen pensiun itu ada dana untuk pembantu. “Karena kami dianggap orang tua yang tidak bisa apa-apa,” kata Elias. Total penerimaannya setelah dipotong pajak dan sewa rumah tersisa 1.300 euro atau Rp 12 juta lebih. “Cukup. Istri saya pun dapat pensiun,” katanya. Kedua anaknya sudah mandiri.
Ada korupsi? “Sama saja. Cuma, orang Belanda itu lebin tertutup, di bawah tangan,” kata Elias, sembari menutup tangan kanannya dengan telapak tangan kiri. Di sana korupsi dilakukan sembunyi-sembuyi. “Di Indonesia lebih terang-terangan.”
Beberapa waktu lalu saat liburan di sini, Elias dijamu familinya. Kala melihat “pameran” kekayaan berupa vila mewah, mobil lebih dari tiga, dan rumah mirip istana milik familinya, ia hanya membatin: “Kekayaannya tak wajar.” Bayangkan, seorang pegawai negeri tingkat provinsi bisa sehebat itu.
Oleh karena itu, Elias mengungkapkan, “Kalau saja pemerintah Belanda ikut membenahi bangsa ini agar tidak korup....” Belum sempat uraiannya selesai, kalimatnya sudah dipotong: “Tidak perlu, urus saja bangsamu sendiri!”
Ada semacam sikap penolakan. Mingkin, refleksi sebuah kekhawatiran. Takut rezekinya diobok-obok” dan boroknya ketahuan. “Di Belanda, jika ada warga yang dicurigai korup,pemerintah bisa menelusuri lewat bank. Asal-usul uang itu dari mana pasti terungkap,” kata Elias.
Berbeda dengan di sini. Uang-uang “siluman” bisa disulap menjadi wajar. Misalnya, uang hasil jual-beli suara di DPR/DPRD, uang mark-up proyek, dan uang pelicin perizinan. Mungkin, itu pula yang membuat pejabat sebersih apa pun – dan punya komitmen tinggi – tak berdaya harus memulai memberantas korupsi dari mana.
Korupsi telah menggurita. Pelakunya licin bak belut. Tak jelas lagi siapa yang harus memberantas dan yang diberantas. Atasan menjebak bawahan agar masuk lingkaran permainan. Itulah, antara lain, yang membuat seorang pegawai negeri di Nganjuk, Jawa Timur, stres berhari-hari tak bisa tidur. “Saya tak tahu harus berbuat apa. Minta pensiun dini ditolak,” katanya.
Padahal, ia takut menerima limpahan proyek dari pejabat lama. Soalnya, proyek bantuan pemerintah bernilai ratusan juta itu Cuma fiktif dan bisa menyeretnya ke sel. ”Diaberarti sewaktu-waktu bisa kena getahnya. Saya bisa masuk penjara,” katanya.
Itulah cobaan hidup yang paling berat dirasakan. Seperti makan buah simalakama. Lingkingan kerjanya sudah tercemar penyakit menggerogoti uang negara. Sementara itu ia tak ingin ber-tepo seliro dengan kebusukan. Mengapa tak lapor atasan yang lebih berwewenang? “Saya tidak punya keberanian,” katanya.
Kendati para intelektual gembar-gembor: “Hadapi tantangan, pasti ada solusinya,” nyalinya tetap ciut dan lututnya gampang moplok. Ia terhimpit kekuasaan besar yang jadi musuh nuraninya. Keberanian dan rasa keadilan itu un seakan sebatas mimpi.
Sebenarnya, secara finansial, keluarganya tercukupi. Ada rumah. Anak tertuanya hampirsarjana. Akan tetapi, “kemajuan” ekonomi itu tak pernah membawanya tenteram. Ia acap geliasah. Sebab, standar ukuran keberhasilan umum hanya pada sudut materi, bukan dari kekayaan batin. Moral boleh tercabik, asal materi terpenuhi.
Mungkin, situasi itu pula yang membuat Indonesia makin terpuruk. Memalukan! Masyarakat sipil yang gencar menyoroti korupsi seperti membentur tembok. Walhasil, memberantas suap dan korupsi Cuma teoritis.
Anehnya, situasi ini tak membuat Elias terkaget-kaget. Di hari tuanya, ia justru berniat menetap di sini. Permintaannya hanya simpel: “ Asal uang pensiun saya bisa ditransfer langsung pada kami, bukan melalui Pemerintah Indonesia. Saya khawatir disunat.” Saya manggut-manggut. Tenggorokan terasa kering sesaat, tak mampu berkata-kata. Inikah Indonesiaku!